Senin, 22 Mei 2017

ARTIKEL PAJAK INTERNASIONAL


THAILAND

Tarif PPN Diusulkan Naik Jadi 8%

BANGKOK, DDTCNews – Dewan Legislatif Nasional (The National Legislative Assembly/NLA) Filipina sepakat untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 1%, sehingga tarifnya menjadi 8%. Hal ini dilakukan guna mendongkrak penerimaan negara serta membiayai program pendidikan dan kesehatan.

NLA memperkirakan kenaikan tarif PPN tersebut akan menghasilkanpenerimaan tambahan hingga THB60 miliar – THB70 miliar atau setara Rp23,2 - Rp27 triliun. NLA menganjurkan agar tarif PPN bersifat variabel berdasarkan kebutuhan masing-masing kategori produk atau layanan.

“Sebelumnya, tarif PPN standar ditetapkan sebesar 10% namun tingkat efektifnya berlaku sebesar 7% sampai 30 Sepetember 2017. Pemerintah tiap tahunnya mengumumkan untuk mempertahankan tarif PPN 7% untuk alasan politik atau ekonomi,” ungkap pernyataan NLA, Kamis (18/5).

Sejak 2013 pemerintah telah gagal untuk memenuhi target penerimaan pajak setelah keputusan pengurangan tarif PPN diberlakukan. Oleh karena itu, diskusi panel yang diadakan oleh NLA mengusulkan langkah-langkah untuk membantu meningkatkan penerimaan negara.
Namun, keputusan akhir mengenai kenaikan tarif PPN akan dilakukan oleh Kabinet setelah NLA mengajukan usulannya. Rencana kenaikan PPN adalah bagian dari paket reformasi pajak yang diusulkan oleh komite NLA mengenai ekonomi, keuangan dan fiskal.

Sementara itu, Panglima Jenderal Prayut Chan-o-cha mengatakan tidak setuju atas kenaikan tarif PPN tersebut lantaran takut mendapat pertentangan dari publik.

Terlepas dari kenaikan PPN, seperti dilansir bangkokpost.com, dalam panel tersebut NLA menyarankan agar Kementerian Keuangan mempelajari apakah perusahaan dengan kantor atau cabang harus memisahkan rekening kantor berdasarkan lokasi sehingga mereka dapat membayar pajak daerah.

Kementerian Keuangan juga harus menemukan cara untuk menutupi celah dalam e-commerce dengan server di luar negeri karena banyaknya tranksaksi yang tidak dikenai pajak. Usulan yang diajukan yakni perusahaan multinasional harus memiliki kantor di Thailand agar penghasilannya dapat dikenakan pajak. (Amu)


JERMAN

Negara Bagian Ini Ungkap Informasi Data 'Malta Leaks'

BERLIN, DDTCNews – Negara bagian Jerman, North Rhine-Westphalia (NRW) telah memperoleh informasi dari sebuah alat penyimpan data yang berbentuk compact disc (CD) berisi tentang registrasi perusahaan Malta yang mencakup informasi tentang beberapa wajib pajak Jerman.

Menteri Keuangan Negara Bagian NRW Norbert Walter-Borjans mengatakan CD yang diterima dari sumber anonim tersebut berisi informasi tentang 60.000 – 70.000 perusahaan di Malta. Dari jumlah tersebut, sekitar 1.600 – 1.700 perusahaan terhubung dengan wajib pajak di Jerman.

“Informasi tersebut menunjukkan perusahaan dan individu menggunakan struktur perusahaan yang terdaftar di Malta untuk menghindari pajak di Jerman. Seringkali, perusahaan offshore ini dibentuk untuk mentransfer keuntungan atau aset ke luar negeri,” ungkapnya, Rabu (10/5).
Sementara itu, Menteri Keuangan Malta Edward Scicluna membantah klaim tersebut. Menurutnya, sistem pajak di Malta tidak tradisional, Malta menggunakan sistem pajak imputasi penuh (full imputation). Tarif pajak standar perusahaan di Malta ditetapkan sebesar 35%.

Di bawah rezim imputasi pajak Malta, ketika dividen dibayarkan oleh perusahaan kepada pemegang saham, maka pemegang saham berhak untuk mengklaim pengembalian pajak dividen sebesar 85%, sehingga menghasilkan tarif pajak efektif perusahaan di Malta hanya sebesar 5%.

Walter-Borjans mengatakan sejak 2010, informasi yang diperoleh dalam format elektronik dari whistleblower telah menghasilkan penerimaan hingga €2,4 miliar atau sekitar Rp35 triliun atas pajak yang belum dibayarkan di NRW, dan €7 miliar atau Rp102 triliun untuk Jerman secara keseluruhan.

Sebagai anggota Uni Eropa, Jerman dan Malta wajib menyetujui persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Selain itu, seperti dilansir dalam Tax Note International, negara-negara OECD dan G-20 telah menyetujui pelaporan informasi perusahaan tertentu mengenai pertukaran informasi di negara tersebut. Scicluna mengatakan rezim fiskal Malta sejalan dengan standar EU dan OECD, termasuk arahan penghindaran anti-pajak Uni Eropa. (Amu)

Link :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar